Sekretaris Jenderal Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Kris Ade Sudiyono, mengungkapkan bahwa bisnis Badan Pengatur Jalan Tol (BUJT) memiliki karakteristik unik, yaitu membutuhkan investasi yang sangat besar dan menghadapi risiko tinggi. Hal ini menjadi alasan utama mengapa operator jalan tol seringkali menaikkan tarif tol yang mereka kelola.
Dalam data terbaru yang dimiliki ATI, Kris menjelaskan bahwa modal yang diperlukan untuk membangun satu kilometer (km) jalan tol bisa mencapai Rp 200-400 miliar. BUJT biasanya memperoleh dana sebesar ini dari modal sendiri atau pinjaman dari institusi keuangan, seperti perbankan.
“Saat ini, data kami menunjukkan bahwa biaya konstruksi per kilometer berkisar antara Rp 200-400 miliar, tergantung pada desain konstruksi jalan tol yang akan dibangun. Apakah itu landed at-grade di atas permukaan tanah atau jalan tol layang atau elevated,” jelasnya dalam RDPU Panja SPM Jalan Tol dengan Komisi V DPR RI, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Lebih lanjut, Kris menerangkan bahwa setelah proyek jalan tol selesai, BUJT umumnya akan mendapatkan masa konsesi atau hak untuk mengoperasikan tol selama 30-50 tahun dari pemerintah. Pada 5-10 tahun pertama, BUJT biasanya akan mengeluarkan modal tambahan karena biaya operasional masih lebih besar daripada pendapatan.
“Dalam periode awal ini, badan usaha umumnya mengalami apa yang disebut dengan kebutuhan kas tambahan akibat defisiensi kas,” terangnya.
Baru setelah melewati periode awal tersebut, Kris Ade menyatakan bahwa BUJT memasuki periode pengembalian modal, yaitu mencicil dana investasi kepada pemilik usaha atau perbankan pemberi pinjaman. Periode ini umumnya berlangsung selama 10-15 tahun.
“Dengan demikian, selama 15 hingga 20 tahun, kami umumnya masih disibukkan dengan mengembalikan pinjaman dan modal kepada pemegang saham,” kata Kris.
Namun, dalam pelaksanaannya, perhitungan pengembalian modal ini seringkali sedikit meleset karena dua faktor: kurangnya jumlah kendaraan yang melintas di jalan tol (traffic) atau rendahnya tarif jalan tol yang berlaku.
“Kondisi ideal akan tercapai jika asumsi yang mendasari perencanaan bisnis terpenuhi. Sayangnya, dalam beberapa kasus bisnis jalan tol, ada asumsi-asumsi yang tidak terpenuhi. Di antaranya, selama periode pengembalian modal, kami mengalami risiko penurunan pengembalian atau return fall,” jelas Kris.
“Penyebabnya bisa karena asumsi traffic tidak terpenuhi. Karena sumber pendapatan jalan tol itu ada dua, yaitu traffic dan tarif. Jika traffic tidak terpenuhi, berarti pendapatan juga tidak terpenuhi. Lalu, yang kedua, jika tarifnya tidak terpenuhi, secara otomatis juga menjadi penyebab degradasi return,” sambungnya.
Guna menjamin salah satu faktor degradasi pengembalian modal investasi pembangunan jalan tol dari aspek tarif, pemerintah bersama dengan BPJT menyepakati adanya penyesuaian tarif dalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Salah satu perhitungan yang mendasari kenaikan tarif ini adalah inflasi.
“Jadi, dalam konsep model bisnis pengusaha jalan tol yang disepakati dan ditawarkan pemerintah, penyesuaian tarif berdasarkan inflasi adalah bagian untuk mengatasi degradasi return karena periode pengembalian yang sangat panjang,”
Oleh karena alasan ini, Kris menegaskan bahwa kenaikan tarif jalan tol yang sering dilakukan BUJT bukan untuk mencari keuntungan tambahan, melainkan semata-mata hanya untuk memastikan agar perusahaan dapat mengembalikan dana investasi, baik dari pemilik usaha maupun pinjaman dari bank.
“Saya ingin menyampaikan, karena ada opini di publik bahwa penyesuaian tarif itu untuk meningkatkan keuntungan, sebenarnya bukan. Ini betul-betul adalah nilai uang atas investasi yang ditanamkan sampai dengan periode konsensinya tadi, 30-50 tahun. Tentu nilai uangnya berbeda. Itulah sebabnya terdapat penyesuaian tarif dan itu model yang ditawarkan pemerintah dan tertuang dalam peraturan Perundang-Undangan yang saat ini ada,” tegasnya.
Sebagai informasi tambahan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 2/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 38/2004 tentang Jalan, Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) diperbolehkan mengajukan kenaikan tarif tol setiap 2 tahun sekali.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan memiliki peran penting dalam persetujuan penyesuaian tarif jalan tol. Persetujuan ini ditetapkan melalui penerbitan Keputusan Menteri (Kepmen) PUPR, setelah hasil identifikasi dan audit dilakukan untuk menilai apakah seluruh syarat dan ketentuan untuk kenaikan tarif telah terpenuhi.